Masa Depan Demokrasi

Masa Depan Demokrasi

Sesungguhnya demokratisasi bukan sekadar liberalisasi partai politik. Namun, karena salah satu simbol paling nyata dari otoritarianisme Orde Baru adalah restriksi partai, liberalisasi menjadi simbol utama dan penting dari demokratisasi. Demokratisasi di Indonesia ekuivalen dengan liberalisasi partai.

Konsekuensinya, ada ledakan jumlah partai. Awalnya, ledakan ini diduga cermin variasi aspirasi publik dan polarisasi politik rakyat. Dalam Pemilu 1999 dan 2004 dugaan itu terbukti keliru: partai yang mendapatkan suara di atas 1,0 persen bisa dihitung dengan jari. Jumlah partai adalah cermin polarisasi elite, bukan polarisasi politik rakyat. Gap antara elite politik dan rakyat ini bisa bermasalah bila liberalisasi tidak diiringi dengan pemilu bebas karena pemilu melegitimasi atau mendelegitimasi partai. Gerakan dan partai yang lantang bisa langsung ludes ketika terbukti minim dukungan dalam pemilu.

Melalui pemilu, rakyat terlibat secara bebas dan langsung dalam menentukan konstelasi politik. Demokratisasi memang menawarkan metode mengartikulasikan aspirasi dan mengelola pemerintahan. Dalam demokrasi, rakyat memastikan bahwa partai dan politisi yang didukungnya bisa mendapatkan tempat di arena politik dan rakyat menuntut mereka untuk dapat menunaikan peran negara dengan baik.

Menentukan arah demokratisasi

Dalam Pemilu 1999 dan 2004, rakyat memberi kesempatan kepada partai dan politisi untuk mengartikulasikan aspirasi dan menunaikan tugas negara melalui Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintahan. Periode pertama (1999-2004) danperiode kedua (2004-2009) durasi politik ini membentuk persepsi kolektif rakyat tentang partai dan politisi.

Selama ini persepsi publik tentang partai dan politisi bisa berbeda dengan demokrasi. Dalam periode ketiga durasi politik (2009- 2014) ini partai dan politisi merupakan representasi demokrasi. Kinerja partai dan politisi adalah refleksi kinerja demokrasi.

Tidak satu pun bisa menjamin bahwa setiap demokratisasi pasti berakhir pada terkonsolidasinya demokrasi (consolidated democracy). Gelombang demokratisasi di Amerika Latin, Eropa Timur, dan Asia Selatan menunjukkan demokratisasi bisa juga berujung pada kembalinya otoritarianisme.

Menjelang Pemilu 2009, dukungan publik pada demokrasi masih amat tinggi. Tidak ada tanda bahwa demokratisasi akan berujung pada kembalinya otoritarianisme. Komitmen semua pihak pada prinsip demokrasi masih tinggi. Namun, demokratisasi menyisakan agenda reformasi yang belum tuntas dan arsitektur politik nasional yang simpang siur. Desain arsitektur politik belum bisa menaklukan partai dan politisi. Bila ada partai dan politisi yang berpihak kepada konstituen dan janji kemerdekaan, itu adalah pilihan tingkat mikro (kemauan individual), bukan sikap yang tumbuh karena desain arsitektur politiknya yang memaksa partai dan politisi.

Dari sini terlihat jelas, Pemilu 2009 bukan saja menentukan konstelasi partai dan politisi, tetapi, lebih jauh lagi, juga menentukan arah demokratisasi. Karena itulah, kualitas partai dan politisi dalamperiode ketiga durasi politik ini menjadi penting. Rakyat masih bisa bersabar bila dalam dua periode lalu output demokratisasi masih belum sesuai.

Namun, pada periode ketiga ini, seperti di banyak negara, jika demokrasi tidak mengantarkan rakyat mendapatkan janji kemerdekaan, bukan tidak mungkin suara menuntut sistem alternatif akan bermunculan.

Wajah baru, harapan baru

Pemilu 2009 akan memunculkan setidaknya dua fenomena, yaitu wajah- wajah baru dan polarisasi konstelasi politik yang asimetrik. Fenomena pertama, wajah baru menumbuhkan harapan baru. Ada harapan, wajah baru akan memberikan konsesi lebih besar, yaitu lebih mendukung perubahan arsitektur politik Indonesia yang memaksa partai dan politisi lebih bertanggung jawab dan sesuai dengan cita-cita kemerdekaan. Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa wajah baru ini-karena kebaruannya-tidak menyadari urgensi tugas serta peran partai dan politisi pada periode ketiga ini (2009-2014).

Fenomena kedua menyangkut polarisasi kekuatan politik. Konstelasi politik Indonesia selama ini adalah simetrik. Perolehan suara partai untuk DPR, DPRD I, dan DPRD II relatif sama. Misalnya, di Kabupaten X, persentase suara yang diperoleh sebuah partai untuk kursi DPR, DPRD I, dan DPRD II relatif identik. Data Pemilu 1999 dan 2004 menunjukkan, persentase suara DPR, DPRD I, dan DPRD II korelasinya mendekati positif 1,0 dan rasionya sekitar 1: artinya persentase suara itu identik.

Potensi “split-ticket”

Pada Pemilu 2009 potensi split-ticket jadi membesar. Rakyat pemilih bisa memilih figur yang berbeda dari partai yang berbeda untuk tingkat pemilihan yang berbeda. Efeknya, konstelasi politik Indonesia bisa mengalami polarisasi yang asimetrik. Konstelasi yang asimetrik di arena legislatif ini menjadi makin iregular bila digabungkan dengan pola aliansi partai dalam pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah. Pasca-2009, konstelasi politik bisa lebih terpolarisasi secara horizontal (tiap level) dan secara vertikal (lintas level: tingkat nasional dan subnasional).

Dengan situasi (1) polarisasi yang lebih besar, (2) wajah-wajah baru yang muncul dalam arena politik, serta (3) periode penting durasi politik 2009-2014, maka kian diperlukan kerja ekstra keras untuk menjamin bahwa demokrasi bisa menunaikan janji kemerdekaan, seperti tertulis dalam UUD 1945.

Politisi dan partai harus menyadari bahwa eksistensi mereka amat ditentukan oleh penerimaan rakyat terhadap demokrasi. Karena itu, politisi dan partai harus bisa melampaui kepentingan mikro dan partisan. Melampaui kepentingan mikro dan partisan ini bukan semata- mata karena semangat altruistis, tetapi juga karena alasan pragmatis. Hanya dengan melampaui kepentingan mikro dan partisan demokrasi bisa hidup serta politisi dan partai bisa tetap berperan terus.


Tulisan ini telah diterbitkan pada KOMPAS SENIN, 09-02-2009. Halaman: 6.