
Transisi dari rezim otoritarian menuju demokrasi hampir selalu diiringi dengan membanjirnya partisipasi politik, termasuk di Indonesia. Partisipasi politik di Indonesia jadi melonjak ketika katup-katup penyumbat kebebasan berpolitik itu jebol bersamaan dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru. Sejak pertengahan tahun 1998, isu-isu politik praktis jadi sangat dominan. Mendominasi mulai dari berita-diskusi media massa sampai dengan demonstrasi di jalanan. Ini semua menunjukkan peningkatan partisipasi politik yang luar biasa.
Pada saat yang sama, tumbangnya sebuah kekuasaan seakan menyediakan arena kosong bagi pergumulan kekuatan elite politik untuk berkuasa. Pergumulan ini tidak saja antara kekuatan politik lama dengan yang baru, tetapi bisa juga merupakan pergumulan antarkekuatan baru. Konflik antar-elite politik yang sedang terjadi di Indonesia adalah contoh konkret pergumulan kekuasaan itu.
Dua fenomena ini: melonjaknya partisipasi politik dan konflik elite politik, bisa terjadi secara bersamaan dan saling menguatkan. Di satu sisi rakyat yang berpartisipasi politik mendapatkan isu politik untuk digarap. Di sisi lain, para elite politik perlu dukungan publik/rakyat untuk memenangkan pergumulan politiknya. Fenomena inilah yang senyatanya terjadi dalam dunia perpolitikan di Indonesia: sinergi antara elite dan massa untuk bertarung dalam politik Jakarta.
Dalam sebuah demokrasi, perbedaan dan konflik itu tidak bisa dihindari. Apalagi demokrasi itu pada dasarnya memang sebuah instrumen untuk mengelola konflik antarkepentingan. Jadi, konflik elite adalah bagian dari demokrasi yang tidak bisa dihindari, yang bisa dihindari adalah fenomena partisipasi politik secara kolosal untuk urusan konflik elite politik di Jakarta.
Fenomena ini harus direspons secara tepat karena berpotensi untuk menjerumuskan Indonesia pada pemerintahan otoritarian yang baru. Mengapa? Karena rakyat tidak bisa tahan terlalu lama menyaksikan kebebasan politik yang terfokus pada perebutan kekuasaan elite politik. Cepat atau lambat, rakyat akan menuntut pemerintahan yang stabil, efektif, dan sanggup memulihkan kondisi ekonomi. Rakyat mungkin saja “diam-diam” menginginkan dikembalikannya the good old days yang bertumpu pada stabilitas politik-ekonomi dan bukan pada kebebasan politik. Kondisi macam inilah yang baru-baru ini terjadi di Pakistan. Kembalinya militer ke kekuasaan politik disambut gembira oleh rakyat Pakistan yang sudah bosan dengan hiruk-pikuk partisipasi politik yang ujung-ujungnya merupakan bagian dari konflik antar- elite.
Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana mengarahkan lonjakan partisipasi politik agar dapat mendukung konsolidasi demokrasi? Strategi macam apa yang bisa dibuat agar lonjakan partisipasi politik yang besar itu penyalurannya tidak hanya untuk konflik elite di Jakarta, tetapi justru untuk urusan yang berdampak luas dan konkret bagi hajat hidup rakyat banyak?
Pertanyaan itu adalah derivasi dari sebuah problem klasik dalam politik Indonesia yaitu dunia perpolitikan di Indonesia sangat Jakarta sentris. Akibatnya, energi partisipasi politik pun dicurahkan sepenuhnya pada urusan-urusan yang Jakarta sentris seperti isu pergantian menteri, atau korupsi para bekas presiden dan menteri. Sementara isu politik lokal jadi luput dari perhatian. Maka tidak aneh bila kita menyaksikan massa dari berbagai daerah bergiliran datang ke Jakarta bukannya untuk menyuarakan persoalan di daerahnya, tetapi untuk ikut meramaikan perseteruan antar-elite politik di Jakarta. Bahkan, diskusi-diskusi lokal baik di media cetak maupun elektronik di daerah yang jauh dari Jakarta sekalipun beramai-ramai membahas isu politik Jakarta.
Untuk menjawab problem Jakarta-sentris tersebut tulisan ini mengajukan argumen bahwa arena politik lokal harus dibangun dan dioptimalkan, sebab Jakarta tidak bisa terus-menerus jadi satu- satunya arena politik di Indonesia. Pembangunan arena politik lokal baik provinsi maupun kabupaten-ini penting bukan saja untuk menyelamatkan konsolidasi demokrasi, tetapi juga untuk menyelamatkan Indonesia itu sendiri karena tersisihnya agenda lokal berpotensi menjadi bahan bakar gerakan separatisme.
Membangun arena politik lokal ini dapat dilakukan dengan tiga strategi yaitu, secara struktural melalui (1) program desentralisasi, dan (2) pemisahan politik lokal dari politik nasional; dan secara kultural melalui (3) pengembangan social capital.
Dari sisi struktural, hubungan daerah-pusat perlu direvisi. Revisi hubungan ini berbentuk: pertama, program desentralisasi yang berfungsi untuk mendekatkan jarak antara pemerintah dengan rakyat dan untuk memperluas kapasitas pemerintah dalam mengabsorpsi aspirasi rakyat. Desentralisasi macam ini meliputi tiga aspek yaitu devolusi, dekonsentrasi, dan desentralisasi keuangan. Dengan desentralisasi macam ini maka pemerintah daerah memiliki otoritas, kapasitas dan sumber daya.
Dalam konteks ini pula, Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 serta bebagai peraturan pemerintah di bawahnya harus dinilai. Bila perangkat hukum ini sejalan dengan ide desentralisasi bukan sekadar dekonsentrasi birokrasi maka arena politik lokal bisa dibangun. Penilaian terhadap perangkat hukum ini penting karena partisipasi politik yang berfokus pada isu lokal sangat bergantung pada terjadinya desentralisasi. Dalam literatur perbandingan politik, misalnya, desentralisasi secara empirik terbukti meningkatkan partisipasi politik di tingkat lokal dengan fokus pada masalah lokal seperti ditunjukkan pada kasus negara-negara di Asia Selatan, Afrika, dan Amerika Latin.
Bila desentralisasi telah berhasil membangun arena politik lokal, maka langkah kedua adalah pemisahan antara politik lokal dan nasional dengan cara memisahkan jadwal pemilu lokal dan nasional. Pemisahan ini bertujuan agar (1) agenda politik daerah tidak tertutupi oleh agenda politik nasional. Dengan begitu, persoalan-persoalan daerah bisa mendominasi panggung politik lokal. Lebih jauh lagi, politisi lokal tidak hanya berbicara isu-isu Jakarta sentris yang sering tidak jelas relevansi manfaatnya dengan publik daerah; (2) melalui pemisahan ini politisi daerah harus tampil dalam arena politik lokal. Hal ini berarti politisi lokal harus berakar dan peduli dengan isu-isu di daerahnya. Lebih jauh lagi, karena pemilu tidak dilakukan secara bersamaan maka politisi lokal tidak bisa sekadar membonceng nama besar figur politik nasional.
Dari sisi kultural, pengembangan social-capital merupakan salah satu prasyarat bagi eksistensi demokrasi. Pengembangan social-capital ini, misalnya, dengan merangsang tumbuhnya asosiasi-asosiasi lokal. Asosiasi lokal ini akan (1) memfasilitasi pembentukan dan penyaluran aspirasi lokal dan (2) menstrukturkan partisipasi politik dalam kerangka politik lokal.
Dengan adanya asosiasi lokal ini maka partisipasi politik rakyat bisa terarahkan pada isu-isu yang relevan dengan hajat hidup kesehariannya. Misalnya asosiasi pedagang pasar tentu lebih tertarik pada masalah peraturan daerah yang menyangkut soal pungutan pajak, soal renovasi atau relokasi pasar daripada masalah pertarungan elite politik di Jakarta.
Dengan mengembangkan tiga strategi di atas: (1) desentralisasi yang komprehensif, (2) pemisahan pemilu lokal dari nasional, dan (3) penumbuhan asosiasi-asosiasi di tingkat lokal, maka lonjakan partisipasi politik ini bisa dioptimalkan faedahnya. Dan, liberalisasi politik yang terjadi pascaruntuhnya Orde Baru tidak menjadi bumerang bagi demokrasi karena lonjakan partisipasi politik bukan cuma terfokus pada masalah elite politik di Jakarta, tetapi lonjakan ini justru menjadi sarana artikulasi untuk agenda-agenda yang senyatanya dibutuhkan oleh rakyat kebanyakan.
—
Tulisan ini telah diterbitkan pada KOMPAS SELASA, 12-06-2001. Halaman: 4.