Regenerasi Pemimpin Partai Politik

Regenerasi Pemimpin Partai Politik

Regenerasi adalah kata yang menjadi wacana intensif dalam beberapa waktu terakhir ini. Dalam “election season” tahun 2009, salah satu tantangannya adalah pada regenerasi. Pemilihan umum 9 April 2009 menghasilkan lebih dari 70 persen wajah baru. Sebuah regenerasi di tubuh DPR.

Di satu sisi, ke-baru-annya membuat mereka harus banyak “belajar”. Di sisi lain, dari perspektif positif, situasi ini membuka potensi perubahan untuk perbaikan. Persepsi miring di benak publik tentang DPR merupakan tantangan yang “bisa” diubah generasi baru anggota DPR. Keseriusan generasi baru untuk menunjukkan praktik politik yang berbeda harus ditunjukkan sejak awal. Jika bisa terjadi, praktik perpolitikan DPR yang berbeda dan lebih baik akan menjadi buah dari regenerasi ini.

Dalam perpolitikan di Indonesia, kebutuhan atas regenerasi bukan hanya terbatas pada anggota DPR. Tantangan yang lebih besar adalah regenerasi dalam tubuh partai politik sebagai sarana untuk mengonsolidasi demokrasi di Indonesia.

Selama ini, fase transisi dari era otoritarian menuju era demokrasi dikawal para pimpinan partai dari generasi pendahulu. Dengan segala plus dan minusnya, generasi ini telah mengantarkan partai politik melampaui tiga pemilu bebas. Untuk bisa melanggengkan proses politik yang demokratis, regenerasi pimpinan partai politik perlu mendapatkan perhatian.

Mengapa generasi baru perlu muncul di partai politik? Demokratisasi di Indonesia berjalan dengan relatif baik. Dalam waktu 10 tahun terjadi transformasi besar-besaran di sebuah bangsa dengan penduduk 240 juta dan membentang ribuan kilometer di khatulistiwa. Transformasi dari politik otoriter ke demokratis dan dari pemerintahan sentralistis ke desentralistis merupakan prestasi yang mencengangkan dunia. Proses transformasi ini berjalan jauh dari sempurna dan terencana. Ada deretan masalah yang masih harus diselesaikan. Akan tetapi, harus diakui, hanya sedikit bangsa yang memiliki stamina untuk menjalankan transformasi serumit ini. Dalam situasi seperti ini diperlukan kesadaran kolektif untuk berpikir dan mengelola perubahan dalam perspektif jangka panjang.

Demokratisasi yang dibangun beberapa tahun terakhir ini memiliki unsur nilai dan unsur institusi. Apresiasi publik atas nilai keadilan, persamaan hak, kebebasan berekspresi, misalnya, menjadi salah satu tanda hadirnya nilai demokratis. Demokrasi itu sendiri harus dibangun dengan pengembangan institusi politik. Salah satu institusi politik yang penting adalah partai politik.

Di sini terlihat bahwa keberlangsungan demokrasi juga memerlukan institusi partai yang baik dan dikelola secara modern. Partai politik harus mulai membebaskan diri dari sekadar institusi peserta pemilu, tetapi menjadi supplier pemimpin. Menyuplai pemimpin berarti mempersiapkan masa depan.

Privilese yang dimiliki partai politik ini menjadi sia-sia ketika regenerasi di partai politik mandek. Peran partai sebagai penyuplai pemimpin politik akan bisa optimal jika partai politik itu sendiri menjadi wahana bermunculannya pemimpin-pemimpin baru. Pemimpin partai politik yang sudah “mengabdi” terlalu lama sebagai pimpinan partai politik perlu berhenti. Generasi baru perlu didorong untuk tampil dan memimpin partai.

Ada beberapa alasan yang mendasarinya. Pertama, demokratisasi pada dasarnya adalah kerja jangka panjang. Perlu stamina lintas generasi untuk membuat demokrasi berhasil meraih cita-cita kehidupan berbangsa dan bernegara seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Keberadaan generasi baru berpotensi membawa terobosan baru dalam perpolitikan Indonesia.

Kedua, generasi baru politik Indonesia sudah mulai memasuki usia maturitas. Meskipun tidak ada rumus universal tentang syarat usia dalam kematangan politik, setelah dua periode pemerintahan pascareformasi, para pegiat demokrasi yang selama ini aktif di partai politik sudah mumpuni untuk muncul dan memimpin.

Ketiga, partai politik harus melakukan modernisasi. Organisasi, pendanaan, dan pengelolaan harus mulai menggunakan prinsip-prinsip manajemen mutakhir. Negara besar seperti Indonesia membutuhkan partai politik yang bisa merajut aspirasi dari seluruh Indonesia dan menerjemahkannya menjadi agenda politik. Partai harus memiliki ideologi dan ikatan emosional dengan pendukungnya sambil memiliki manajemen partai yang modern. Generasi baru yang berada di partai politik lebih berpotensi untuk memiliki kesadaran itu.

Keempat, partai politik harus menjadi wahana persemaian pemimpin baru Indonesia. Sebuah tempat di mana kedewasaan berpolitik dibangun, kedekatan dengan publik dirawat dan idealisme dijaga. Partai politik bergerak di wilayah kekuasaan, tetapi berakar pada semangat kerakyatan.

Partai politik memiliki budaya politik dan kader yang bervariasi. Hubungan antara partai dengan kader dan pendukung memiliki pola yang bervariasi juga. Variasi-variasi ini memiliki efek pada pola kaderisasi dan rekrutmen pemimpin partai. Dengan pola yang bervariasi itu, secara umum ada dua jalur kemunculan tokoh-tokoh muda partai politik, yaitu jalur aristokratis dan jalur aktivis.

Jalur aristokratis memunculkan generasi baru pemimpin partai yang berasal dari keturunan dan keluarga pimpinan partai yang sudah mengakar. Dinasti politik yang melanggengkan perannya dalam politik melalui regenerasi di partai politik. Praktik ini terjadi di negara demokrasi maju sekalipun. Di Asia, beberapa negara demokrasi, seperti India, Pakistan, Jepang, dan Filipina, menunjukkan fenomena yang hampir sama.

Jalur kedua adalah jalur aktivis. Jalur ini memunculkan generasi baru pemimpin partai yang berbasis pada aktivisme politiknya. Generasi baru ini bukan bagian dari dinasti-dinasti politik di partai politik. Mereka adalah anak-anak muda yang mengekspresikan semangat aktivismenya sejak muda dan memilih untuk memasuki partai politik.

Persoalan yang sering muncul adalah ketika jalur aristokratis dan jalur aktivis ini tidak dihadapkan pada sistem meritokrasi di partai politik. Bila meritokrasi itu absen, partai politik punya kencenderungan memenangkan jalur aristokratis. Partai politik yang didukung massa yang loyal pada figur atau dinasti politik pada akhirnya hanya sekadar ekspresi sebuah dinasti politik. Situasi ini bisa memaksa aktivis partai berkompromi dan menjadi penopang eksistensi dinasti tersebut. Di sinilah awal mandeknya peran partai politik sebagai supplier pemimpin yang mumpuni.

Situasi ini bukan saja di tingkat nasional, melainkan juga terasa di tingkat lokal. Ketika ikatan-ikatan tradisional masih sangat mewarnai budaya politik lokal, absennya meritokrasi menyebabkan kekuatan politik berbasis simbol-simbol tradisional dan kultural bisa mendominasi partai politik di tingkat lokal.

Ketika situasi ini terjadi, pemimpin partai semata-mata adalah refleksi kekuatan kultural di dalam partai, bukan refleksi potensi kepemimpinan dan kekuatan politik seseorang. Retorika pemimpin bisa saja nonpartisan, tetapi pengakuan atas kepemimpinannya menjadi sangat partisan (sebatas internal partai). Kehadiran meritokrasi bagi partai politik bisa membantu membereskan masalah ini. Regenerasi dari sumber aristokratis dan aktivis bisa berujung pada suplai pemimpin jika regenerasi merupakan cermin proses meritokrasi.

Pada dasarnya, partai politik merupakan supplier utama pemimpin politik di Indonesia. Dan, memang salah satu fungsi partai politik adalah kaderisasi. Akan tetapi, menjalankan fungsi kaderisasi ini memerlukan situasi yang kondusif. Partai bisa melakukan kaderisasi bila kader sadar bahwa mereka memiliki peluang “berkarier” di partai politik. Apabila kader-kader muda melihat adanya peluang untuk menduduki posisi-posisi kunci di partai politik, kaderisasi di institusi partai politik akan dinamis. Dengan begitu, partai politik bisa menjadi wahana untuk menjaring anak-anak terbaik Indonesia guna menjadi pemimpin politik, baik di tingkat lokal, regional, maupun nasional.

Sesudah musim pemilihan pada tahun 2009, saatnya pemimpin partai secara terencana dan terbuka menempatkan periode 2009-2014 sebagai era generasi baru di tubuh pimpinan partai politik. Kini saatnya generasi baru pemimpin partai politik bermunculan. Generasi muda yang saat ini sudah berada di dalam tubuh partai politik harus tampil dan memegang kendali partai di Indonesia.


Tulisan ini telah diterbitkan pada KOMPAS KAMIS, 02-07-2009. Halaman: 38.