Usulan Pemisahan Pemilu Lokal dan Pemilu Nasional

Usulan Pemisahan Pemilu Lokal dan Pemilu Nasional

Arena politik Indonesia yang sedang mengalami reformasi dan demokratisasi menunjukkan ketimpangan fokus perhatian. Isu Jakarta-sentris sangat dominan dan isu/agenda lokal tersisihkan. Dalam era reformasi ini arena politik lokal belum terbangun secara independen. Akibatnya, bukan cuma politisi lokal yang sangat bergantung pada politisi nasional, tetapi perilaku politik tidak diwarnai oleh aspirasi lokal, tetapi lebih dipengaruhi oleh pusat.

Situasi ini berseberangan dengan tujuan dibentuknya negara dan Pemerintah Republik Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Berdasarkan tujuan-tujuan itu seharusnya arena politik memberi ruang aspirasi bagi “seluruh” bukan “sebagian” bangsa Indonesia. Lebih jauh lagi, arena politik seharusnya responsif bukan saja pada tuntutan rakyat-besar di Ibu Kota, tetapi juga responsif pada tuntutan rakyat-kecil di berbagai pelosok negeri.

Dengan pemikiran bahwa reformasi dan demokratisasi bukan hanya diperlukan di Jakarta-yang sarat publisitas media massa-tetapi di setiap wilayah Republik Indonesia. Dan, salah satu tujuan utama demokratisasi adalah membuat negara responsif terhadap aspirasi dan kebutuhan rakyat yang umumnya menyangkut isu-isu lokal. Maka pertanyaan yang perlu dijawab adalah bagaimana membuat demokrasi di Indonesia jadi peduli dan responsif terhadap aspirasi dan isu lokal.

Sistem pemilu

Jawaban standar yang selama ini diberikan terhadap isu ini adalah dengan pertama, program desentralisasi dan kedua, modifikasi electoral system.

Pertama, desentralisasi, sebagaimana ditunjukan dalam kajian literatur dan bukti empirik di berbagai negara Asia dan Afrika, bisa membuat pemerintah responsif terhadap aspirasi lokal. (Manor, 1999) Desentralisasi yang berhasil macam itu relatif komprehensif karena meliputi devolusi, dekonsentrasi, dan desentralisasi fiskal. Akan tetapi, temuan ini belum tentu bisa terulang di Indonesia.

Salah satu faktor yang bisa menghambat peningkatan tingkat respons pemerintah adalah mengakarnya loyalitas partai dan sifat partai yang sentralistik. Di satu sisi, loyalitas yang tinggi memang membuat basis partai jadi kuat. Di sisi lain, tingginya loyalitas rakyat pendukung ini membuat politisi lokal jadi seakan terbebaskan dari kewajiban memikirkan aspirasi rakyat pemilihnya. Sementara partai yang sentralistik membuat politisi lokal bergantung pada pimpinan partai di Ibu Kota. Dengan adanya kenyataan ini, meskipun ada desentralisasi otoritas (devolusi), tetapi tanpa adanya arena politik lokal yang independen maka output pemerintahan tetap saja tidak mencerminkan aspirasi lokal.

Kedua, modifikasi electoral system, karena memang sistem pemilu berperan menstrukturkan hubungan antara pemilih dan politisi. Dan, struktur hubungan inilah yang akan menentukan tingkat respons negara terhadap rakyat. Meski penting dan relevan, apalagi karena RUU Amandemen terhadap UU Nomor 3 Tahun 1999 sedang dibicarakan, tetapi selama ini diskusi tentang modifikasi itu terjebak dalam masalah sistem pemilu. Akibatnya, perdebatan electoral reform itu terfokus pada pencarian salah satu sistem-majoritarian systems atau proportional systems atau kombinasinya-yang cocok dengan realita sosial-politik di Indonesia.

Pemisahan jadwal pemilu

Melihat problematika itu, tulisan ini mengusulkan terobosan baru untuk menjawab pertanyaan di atas. Tulisan ini berargumen bahwa salah satu sebab marjinalisasi isu lokal adalah terintegrasinya politik nasional dengan politik lokal. Karena itu, terlepas dari (1) eksistensi program desentralisasi dan (2) electoral system yang dipilih, agenda/isu lokal akan teradopsi dan diperhatikan bila politik lokal terpisah dari politik nasional. Dan, pemisahan ini dicapai melalui pembedaan jadwal pelaksanaan pemilu nasional dan lokal (staggered elections).

Pemisahan pemilu ini bukan cuma dalam hitungan minggu dan hari, tetapi dalam hitungan tahun. Misalnya, pemilu nasional untuk memilih anggota DPR, MPR (dan presiden bila dipilih langsung) dilaksanakan tahun 2004. Sementara pemilu lokal untuk memilih anggota DPRD (dan gubernur/bupati bila dipilih langsung) dilaksanakan tahun 2006 atau 2007. Dengan pemisahan ini meskipun durasi kerjanya sama-sama lima tahun, tetapi memiliki awal siklus yang berbeda.

Sebagai ilustrasi dari efek pemisahan jadwal pemilu lokal dan nasional adalah terintegrasi politik lokal dan politik nasional di Filipina. Semula pemilu lokal dan pemilu nasional di Filipina dipisahkan pelaksanaannya. Lalu, pada tahun 1987 terjadi perubahan konstitusi di mana pelaksanaan pemilu lokal dijadikan satu dengan pemilu nasional. Efeknya, aspirasi lokal yang semula tertampung dalam institusi lokal jadi tererosi dan politisi lokal yang sebelumnya mandiri berubah jadi tergantung pada politisi nasional. (Rocamora, 1998)

Pemisahan ini memang memiliki berbagai konsekuensi. Pada satu sisi, pemisahan ini bisa meningkatkan biaya politik karena pemilu yang biasanya dilakukan cuma sekali berubah jadi dua kali setiap lima tahun. Artinya, masa-masa ketidakpastian jadi bertambah apalagi aroma politik kekerasan-terutama kampanye-masih kuat dan subur.

Pada sisi lain, pemisahan ini memberikan sekurang-kurang-nya tujuh potensi faedah. Dengan pemisahan pemilu ini maka (1) rakyat pemilih bisa dengan jelas membedakan politik lokal dan politik nasional. Dan pemisahan jadwal pemilu itu membuat pemilu lokal jadi lebih independen dari politik Jakarta. Independensi ini akan membuat politik dan isu-Jakarta tidak salable di tingkat lokal.

Akibatnya, (2) politisi lokal akan kesulitan untuk sekadar membonceng nama politisi nasional dan politisi “dipaksa” mengadopsi dan responsif pada isu lokal bila ingin survive dalam politik lokal. Implikasi institusional dari perubahan ini adalah (3) partai politik dipaksa untuk secara serius membangun organisasi dan basis pendukungnya di tingkat lokal.

Lalu, terangkatnya isu lokal dalam arena politik tersebut merangsang rakyat untuk (4) menyadari isu keseharian yang relevan dengan proses politik. Kesadaran rakyat pemilih tentang korelasi antara proses politik dan isu keseharian ini bisa menjadi breakthrough yang mencerdaskan dalam politik Indonesia. Mengapa? Karena kuatnya politik aliran di Indonesia membuat rakyat pemilih cenderung tak peduli terhadap performance politisinya. Sebuah studi tentang perilaku pemilih yang dilakukan oleh Dwight King menunjukkan bahwa hasil Pemilu 1955 dan 1999 memiliki kesamaan polarisasi pemilih (King, 2000). Artinya waktu telah berjalan 40 tahun, tetapi afiliasi partai dari rakyat pemilih tidak berubah.

Karena itu, adanya kesadaran korelasi antara proses politik dan isu keseharian ini akan membuat (5) perseteruan ideologis yang abstrak harus diterjemahkan jadi kompetisi ideologis yang praktis. Dengan demikian meski ideologi/aliran tetap eksis, tetapi penerjemahan praktis dari ideologi itu-agar relevan dengan isu keseharian rakyat-jadi penting.

Kompetisi ideologis yang praktis itu pada gilirannya akan membuat (6) proses politik jadi transaksional. Artinya, rakyat pemilih bukan cuma memberikan suara/dukungan pada politisi, tetapi juga menuntut imbalan dalam bentuk pedulian politisi/negara terhadap kepentingan dan aspirasi rakyat pemilihnya. Dengan proses politik yang transaksional ini maka (7) kepentingan dan hajat hidup rakyat di tingkat lokal akan diperhatikan, sebab dalam proses yang transaksional rakyat bisa menghukum politisi/partai politik dengan memilih politisi/partai politik lain.

Penutup

Meski pemisahan jadwal pemilu ini tidak berdiri sendiri, tetapi menuntut berbagai aturan penyerta untuk mendewasakan arena politik lokal, misalnya, adanya devolusi dan adanya pembatasan penampilan politisi nasional dalam kampanye lokal. Akan tetapi, salah satu keunggulan dari pemisahan jadwal ini adalah tidak diperlukannya bongkar-pasang konstitusi yang rumit.

Dengan equilibrium politik yang saat ini mulai memasuki fase stabil, jadi makin terbuka peluang untuk senyatanya memikirkan dan membuat negara demokrasi ini responsif terhadap kepentingan dan aspirasi rakyat, terutama di tingkat lokal. Karena itu, dengan melihat tujuh potensi faedah di atas, maka usulan pemisahan jadwal pemilu lokal dan nasional ini perlu dipertimbangkan secara serius.


Tulisan ini telah diterbitkan pada KOMPAS RABU, 05-09-2001. Halaman: 8.